Foto Haflah

Foto Guru dan Siswa-siswi MI Miftahul Huda pada acara Haflah Akhirussanah.

Semangat

Tetaplah semangat mengejar ilmu untuk menggapai cita-citamu

Pekan Madaris

Wajah-wajah generasi penerus bangsa yang berakhlakul karimah

Ekstrakurikuler

Group Rebana MI. Miftahul Huda Rawasan

Outbound

Asiknya bermain di laut. (Hati-hati nak.....!)

Jumat, 25 Februari 2011

Ujian Nasional dan Politisasi Standar Mutu

Oleh Masyhuri AM
Sekretaris Majelis Pertimbangan dan
Pemberdayaan Pendididkan Agama Islam
MP3A)

Ujian Nasional (UN) sesungguhnya hanya salah satu sarana untuk melakukan penilaian serta untuk mengetahui apakah rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke dalam kurikulum dapat dicapai atau tidak. Ibarat sebuah produk, UN dapat dikategorikan sebagai tools untuk mengukur mutu produk (standard of quality assurance). Ukuran tersebut harus bisa berlaku umum. Jadi, ujian merupakan penerapan quality control management dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini UN tidak hanya berfungsi untuk menentukan standar kelulusan, tetapi juga untuk mengukur mutu pendidikan secara merata di tingkat nasional. Selain itu, UN juga dapat menjadi instrumen evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan secara menyeluruh terhadap sekolah, guru, siswa, serta sarana/prasarana, termasuk rancang bangun kurikulum.

Dengan cars tersebut, sekolah, guru, orang tua murid, dan komite sekolah dapat secara bersama-sama menyusun strategi tindak lanjut untuk perbaikan dan penyempurnaan program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Tentunya kegagalan para siswa dalam mencapai hasil belajar tak dapat dipandang sebagai kegagalan siswa semata, tetapi lebih komprehensif dari segi pengajaran yang diberikan atau mungkin kesalahan strategi dalam melaksanakan program, terbatasnya fasilitas yang dimiliki, serta mungkin kinerja tenaga pendidik berkualitas rendah.

Dilihat dari fungsinya, UN adalah bagian dari proses penilaian. Sedangkan jenis penilaian bisa formatif, summative, diagnostik, dan selektif. Penilaian formatif dilakukan oleh guru pada akhir program belajar-mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar itu sendiri. Program penilaian formatif berorientasi pada proses belajar-mengajar. Melalui ini diharapkan guru dapat memperbaiki program pengajaran dan strategi pelaksanaannya. Adapun penilaian summative adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir program dan bertujuan untuk melihat hasil yang dicapai oleh para siswa setiap akhir caturwulan, akhir semester, atau akhir tahun. Jenis penilaian ini ingin mengukur kompetensi dalam mata pelajaran yang dinilai atau diujikan. Penilaian ini berorientasi kepada produk, bukan kepada proses. Jadi, apabila tidak kompeten dalam mata pelajaran yang dujikan atau yang dinilai, siswa dinyatakan tidak lulus.

Jenis lain berkaitan dengan penilaian yaitu penilaian diagnostik. Penilaian ini bertujuan untuk melihat kelemahan-kelemahan siswa serta faktor-faktor penyebabnya, dan dilakukan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remedial (remedial teaching), dan menemukan kasus-kasus. Oleh karena itu, soal-soal dirancang untuk menemukan jenis kesulitan belajar yang dihadapi para siswa. Penilaian jenis ini diharapkan menjadi alat diagnosis untuk mendeteksi kelemahan-kelemahan proses pembelajaran di satu sekolah. Dalam konteks ini ujian nasional dapat berfungsi ganda sebagai penilaian summative sekaligus diagnostik. Fungsi summative dilaksanakan pada akhir program yang bertujuan untuk melihat hasil akhir belajar siswa. Hasilnya menjadi rekaman laporan kecakapan (record progress) bagi siswa dalam penguasaan materi tertentu. Sedangkan ujian sebagai fungsi diagnostik didasarkan pada penyusunan kisi-kisi soal yang didesain untuk menemukan jenis kesulitan dan mencari kelemahan-kelemahan dalam proses pembelajaran. Pada gilirannya, hasil ujian tidak hanya menjadi hasil prestasi siswa, tetapi sekaligus simbol keberhasilan guru, kepala sekolah, dan sekolahnya.

Pro-kontra UN
Kita patut menghargai pro-kontra sekitar UN ini jika perdebatan tersebut murni masalah standardisasi mutu pendidikan. Karena itu, penyelenggaraan UN bukanlah hal yang tepat untuk dipertentangkan secara politis. Kecenderungan menarik masalah UN ke wilayah politik pasti akan menimbulkan korban tafsir berikutnya. Persoalan mutu pendidikan menjadi terlupakan. Jika perdebatan masalah UN hanya ditarik ke arah persoalan yang sangat teknis, yakni lembaga mana yang berhak menyelenggarakan, proses penganggaran yang lebih dahulu harus dibahas oleh DPR, prosedur aturan yang perlu ditetapkan dst, persoalan yang muncul bukan murni pengukuran kualitas pendidikan lagi, melainkan sudah melebar ke wilayah lain. Hal ini kemudian dapat menimbulkan persepsi berbeda tanpa pertimbangan mendalam kemudian menafikan bahwa ujian tidak perlu diadakan. Di sisi lain, juga timbul persoalan gengsi sekolah. Karena, bagi sekolah yang persentase kelulusan siswanya tinggi dalam UN, sekolah tersebut ikut naik pamornya. Masalah ini kemudian memunculkan persoalan baru, pihak sekolah berusaha dengan segala cara untuk menggenjot siswa agar dapat lulus ujian.

Meskipun setiap argumentasi memiliki alasan untuk bertahan pada sikap atau pendiriannya, setidaknya kesadaran bersama diperlukan agar kualitas pendidikan tidak menjadi korban. Update terakhir tentang human development index (HDI) Indonesia yang berada di posisi 107 dari sekitar 188 negara menunjukkan bahwa upaya pemulihan pendidikan harus menjadi prioritas bangsa ini ke depan. Karena itu, polemik tentang UN seyogianya tidak terlalu dalam ditarik ke ranah politik sehingga dapat membias ke dalam masyarakat dan membuat para praktisi pendidikan semakin bingung. Secara ideal memang pelaksanaan evaluasi terhadap peserta didik harus diwujudkan. Pertanyaannya: Apakah jika belum mencapai penyelenggaraan yang ideal kemudian lembaga ujian tidak perlu diadakan, sementara sistem yang lain belum ada?

UN sebagai produk hasil belajar
Memang basil belajar tidak sepenuhnya bisa dievaluasi oleh UN. Namun dalam kaitan tes summative (ujian akhir), UN dapat menjadi kriteria pengukuran produk hasil belajar, karena memang pengukuran ini berorientasi kepada produk akhir, bukan proses. Mengutip pendapat tokoh psikologi pendidikan Carl Rogers 'bahwa seseorang yang telah menguasai tingkat kognitif, maka perilaku seseorang sudah dapat diramalkan ke dalam ranah afektif dan ranah psikomotoriknya'. Yang terjadi di sekolah saat ini memang evaluasi hasil belajar kognitif lebih dominan, jika dibanding dengan evaluasi hasil belajar afektif dan psikomotorik. Akan tetapi, bukan berarti kedua bidang tersebut diabaikan sehingga tidak perlu dilakukan penilaian.

Dari beberapa indikator kualitas pendidikan sejak reformasi bergulir tahun 1998, cukup banyak dicatat kemajuan pendidikan di Tanah Air. Tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya, saat guru hanya mentransfer pengetahuan dan dipatok dengan target-target kurikuler. Model pembelajaran ini dengan pendekatan demokratis, mengisi banyak ruang kelas sekolah, guru dan siswa mempunyai posisi sentral dan menjadi subjek pendidikan, sehingga prinsip pelajar tuntas (mastery learning) menjadi lebih mungkin dicapai. Model pembelajaran demokratis menuntut adanya rumusan standar nasional kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan (competency standard). Oleh karena itu, ujian akhir seperti UN yang menggunakan criteria referenced assessment tetap diperlukan.

Problem mendasar diskursus tenang UN hanya terjadi pada kriteria dan cara mencapainya saja, karena secara faktual terdapat hampir 52% sekolah/ madrasah di Indonesia berstatus swasta. Sebaliknya jika kita tidak memiliki basis national standardized test yang baku dan menjadi acuan secara nasional, jelas hal ini juga tidak menguntungkan dari aspek pengembangan mutu. Karena itu standar yang baik dalam dunia pendidikan tetap diperlukan dalam rangka mengetahui standar isi dan standar kompetensi yang berlaku di wilayah Indonesia. Banyak ahli pendidikan yang kurang meyakini kemampuan sekolah swasta untuk mengukur secara objektif kemampuan siswanya masing-masing. Ketika pemerintah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk memberi nilai sendiri, yang terjadi adalah menaikkan (mark up) nilai. Fenomena ini menunjukkan betapa masih banyaknya sekolah-sekolah swasta yang integritasnya terhadap mutu pendidikan masih rendah.

Kiranya kita perlu melihat kembali persoalan ini dengan kepala dingin, hati yang jernih, agar UN sebagai produk hasil belajar dapat meningkatkan pola pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Belajar dari negeri tetangga seperti Malaysia yang menetapkan angka kelulusan (passing grade) untuk mata pelajaran matematika, bahasa, dan IPA dengan 6, sedangkan UN tahun ini hanya menetapkan 5,05 itu pun sudah menjadi kegaduhan besar. Para pengkhidmat pendidikan perlu mengimbau pemerintah, DPR, dan LSM untuk tidakmemperpanjang masalah UN menjadi menyimpang dari esensi persoalan upaya peningkatan mutu pendidikan secara terus-menerus.

Kamis, 24 Februari 2011

Ujian Nasional Tahun 2011

Dengan ditandatanganinya Permendiknas Nomor 45/2011 tentang Kriteria Kelulusan dan Permendiknas Nomor 46/2011 tentang Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SMP dan SMA oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh berarti UN 2011 positif digelar.

Memang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2010/2011 jenjang sekolah menengah atas/ madrasah aliyah/sekolah menengah kejuruan (SMA/MA/SMK) akan digelar pada 18-21 April 2011. Adapun pelaksanaan UN sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) akan digelar pada 25-28 April 2011.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) menyampaikan, pemerintah menggunakan formula baru untuk menentukan kelulusan yaitu nilai gabungan antara nilai UN dan nilai sekolah yang meliputi ujian sekolah dan nilai rapor. “Dengan formula baru kita pertimbangkan prestasi di sekolah (yaitu) ujian sekolah dan raport digabung dengan UN,” katanya saat memberikan keterangan pers di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta, Senin (3/1/2011).

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas Mansyur Ramly menyampaikan, UN Susulan SMA/MA/SMK dilaksanakan pada 25-28 April 2011 dan pengumuman kelulusan oleh satuan pendidikan paling lambat 16 Mei 2011. Sementara UN Susulan SMP/MTs pada 3-6 Mei 2011, sedangkan pengumuman UN SMP/MTs oleh satuan pendidikan pada 4 Juni 2011. “UN kompetensi keahlian kejuruan SMK dilaksanakan oleh sekolah paling lambat sebulan sebelum UN dimulai,” katanya.

Mendiknas menyampaikan, sebelum kelulusan diumumkan, sekolah mengirimkan hasil nilai sekolah untuk digabungkan dengan hasil nilai UN ke Kemdiknas. Selanjutnya, setelah digabungkan dengan formula 60 persen UN ditambah dengan 40 persen nilai sekolah, nilai tersebut dikembalikan lagi ke sekolah. “Sekolah merekapitulasi dengan mata pelajaran lain. Kan ada tujuh mata pelajaran lain yang harus lulus. Yang menentukan kelulusan tetap satuan pendidikan,” katanya.

Mendiknas mengatakan, dari peta nilai akan dilakukan analisa tiap sekolah. Bagi sekolah-sekolah yang nilainya rendah, akan dilakukan intervensi. Kemdiknas pada 2010 telah mengintervensi dengan memberikan insentif kepada 100 kabupaten/kota yang nilai UN-nya rendah. “Kami beri dana Rp1 miliar sebagai stimulus,” ujarnya.

Insentif tersebut diberikan bagi kabupaten/kota dengan persentase kelulusan siswa kurang dari 80 persen dan memiliki indeks kapasitas fiskal kurang dari satu (<1). Adapun intervensi program yang dilakukan meliputi peningkatan kompetensi guru dan remedial.

Mendiknas tidak memberikan target khusus kelulusan siswa. "Justru yang menjadi target adalah kejujuran dari pelaksanaan UN. Itu yang lebih mahal karena dari angka kelulusan tahun lalu sudah 99 persen," katanya.


http://ujiannasional.org/jadwal-un-2011-bulan-april.htm

Rabu, 23 Februari 2011

Ponpes Akan Disetarakan

Pemerintah akan menyetarakan pondok pesantren (ponpes) dengan lembaga pendidikan umum. Dengan demikian, ijazah yang diperoleh alumni ponpes dapat diakui dan digunakan di lembaga pendidikan umum ataupun dunia kerja.

Hal tersebut dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh, Rabu (16/2). "Kalau dilihat pada Undang-Undang Sisdiknas, namanya pendidikan itu ada umum dan keagamaan dan masuk dalam rumah besar sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, kenyataan di lapangan sering terjadi diskriminasi."

Diskriminasi itu, menurutnya, terjadi ketika lulusan pesantren yang sudah bertahun-tahun mendapat pendidikan, tak bisa disetarakan dengan pendidikan umum. Hal ini terjadi karena pendidikan keagamaan belum memiliki standar atau standardisasi. "Kalau lulus pesantren tidak punya ijazah mau disetarakan dengan apa, SD, SMP, atau SMA?" katanya.

Karena itu, pemerintah akan menyiapkan lembaga atau institusi penyetaraan. "Bahasa lainnya muadalah."

Ia optimistis, tahun ini lembaga penyetaraan akan terbentuk dan tahun ini pula bisa dilaksanakan. "Saat ini kita akan membicarakan dengan Kementerian Agama (Kemenag). Akan tetapi, yang jelas pendidikan itu yang paling bertanggung jawab ialah Kemendiknas."

Terkait hal ini Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Choirul Fuad Yusuf menjelaskan, mekanisme penyetaraan itu dilakukan dengan memberlakukan ujian nasional di ponpes. Tetapi, komposisi mata pelajaran yang diujikan tidak sama dengan lembaga pendidikan formal seperti madrasah. Sebanyak 85 persen mata pelajaran yang diujikan adalah pelajaran agama yang merupakan kurikulum ponpes yang bersangkutan.

"Sedangkan sisanya adalah mata pelajaran wajib nasional di antaranya bahasa Indonesia, matematika, dan pendidikan kewarganegaraan," kata Choirul kepada Republika, Kamis (17/2).

Menurutnya, upaya penyetaraan mesti dilaksanakan secara bertahap. Sebab, ponpes di Tanah Air yang saat ini berjumlah sekitar 24 ribu, memiliki tingkat kualitas dan model lembaga yang berbeda-beda. Di sinilah, diperlukan standar pendidikan agama Islam yang salah satunya mengatur kriteria kompetensi santri di ponpes. "Namun, ponpes tetap diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakter masing-masing lembaga," kata Choirul.

Senin, 07 Februari 2011

Menjadi Guru yang Menyenangkan

1) Bangkitnya minat
Seorang Pengajar atau pemelajar menjadi gembira lantaran di dalam dirinya memang ada keinginan Mengajar atau mempelajari suatu materi pelajaran.

2) Adanya Keterlibatan
Keterlibatan memerlukan hubungan timbal balik. Apa yang dipelajari dan siapa yang ingin mempelajari perluadanya jalinan yang akrab dan saling memahami.

3)Adanya pemahaman atau penguasaan materi
Rasa ingin tahu atau kehandak untuk mengusai materi yang dipelajarinya akan tumbuh secara hebat apabila dia Berminat, Terlibat, dan Terkesan.

4) Terciptanya makna
“Terciptanya sesuatu yang menyanangkan” inilah makna. Jadi, apabila sebuah pemelajaran tidak dapat menimbulkan kesan mendalam terhadap para pemelajar, maka mustahil ada makna.

5) Munculnya nilai yang membahagiakan
Rasa bahagia yang dapat muncul di dalam diri si pemelajar bisa saja terjadi karena dia merasa mendapatkan makna ketika mempelajari sesuatu. Atau dia merasa bahagia karena selama menjalani pemelajaran dia diteguhkan sebagai seorang berpotensi dan dihargai jerih payahnya dalam memahami sesuatu.

Minggu, 06 Februari 2011

Strategi Untuk Menarik Perhatian Siswa di Kelas

  • Strategi Linguistik : Menuliskan kalimat “Harap tenang!” di papan tulis.
  • Strategi Musik : bertepuk tangan secara ritmis dan meminta siswa menirukannya.
  • Strategi Kinestetis-Jasmani : Meletakkan jari di bibir untuk meminta siswa diam, sementara tangan lain diangkat lurus ke atas. Mintalah siswa menirukannya.
  • Stategi Spasial : Memasang gambar kelas yang tenang di papan tulis dan jadikan gambar sebagai acuan, dengan bantuan alat penunjuk.
  • Strategi Matematis – Logis : menggunakan stopwatch untuk mencatat waktu yang terbuang dan menuliskan di papan tulis setiap detik yang hilang dalam interval 30 detik. Katakan pada siswa bahwa waktu tersebut adalah waktu yang hilang dari jam pelajaran, yang harus digantikan nantinya.
  • Strategi Iterpersonal : Membisikkan ketelinga satu murid, “Sekarang saatnya untuk-teruskan pesan ini,” dan tunggulah sementara sang siswa menyampaikan pesan tersebut secarai berantai ke seluruh kelas.
  • Strategi Intapersonal : Mulailah mengajar, dan biarkan siswa bertanggung jawab atas kelakuan mereka sendiri.
  • Strategi Naturalis : Putarlah kaset kicauan burung atau (akan lebih baik) membawa binatang hidup ke dalam kelas. Pada umumnya, setiap kali ada binatang di dalam kelas, kesanalah perhatian akan tertuju!


Karya Chen Jigpan dengan judul Confucius as a theacer
Apa yang bisa kami ambil dari confucius?
Gabungkan yang terbaik dari yang baru dengan yang terbaik dari yang lama.
Belajarlah melalui praktik.
Gunakan dunia sebagai ruang kelas.
Gunakan music dan puisi untuk belajar-mengajar.
Padukan kegiatan akademis dengan fisik
Belajarlah tentang cara, bukan Cuma tentang fakta.
Layanilah semua gaya belajar yang ada.
Bangunlah nilai dan prilaku terpuji
Berilah kesempatan yang sama bagi semua orang.

Spesikasi tujuan siswa
Peserta didik perlu diperkenalkan dengan tujuan atau cita-cita yang sangat spesifik dan jelas. Tujuan yang tidak jelas akan sulit membangkitkan minat. Tujuan yang tidak spesifik akan menulitkan seseorang membangun “jalan” menuju arah tujuan tersebut. Dan ciptakanlah pusat kegiatan khusus dalam ruang kelas bagi tiap-tiap kecerdasan yang memiliki seorang anak. Namai kelas-kelas itu berdasarkan orang ternama yang menonjol dalam masing-masing area. Seperti kelas Thomas Amstrong, kelas Howard Gardene, Kelas Melly guslow, kelas Soe Hok gie di el el.

Sekolah Toleransi
“Bangunlah suasana kelas yang di dalamnya ada kegairahan untuk mencapai hidup yang lebih baik”
Hal terpenting bagi kita adalah menyadari dan mengembangkan semua ragam kecerdasan manusia dan komnasi-kombinasinya.
Kita berbeda karena memiliki kombinasi kecerdasan yang berlainan.
Apabila kita menyadari hal ini, setidaknya kita mempunyai berbagai peluang untuk menangani masalah yang kita hadapi di dunia ini dengan baik.
Tempelkan Pesan-pesan berikut untuk membantu membangun toleransi sekolah

Stasiun Cerdas
Salah satu cara untuk menciptakan latihan-silang adalah melalui Stasiun Cerdas Quantum Teaching – stasiun-stasiun untuk jenis-jenis cerdas yang berbeda. Tempatkan stasiun-stasiun sesungguhnya di sekeliling kelas untuk setiap unsure kecerdasan majemuk. Siswa mengunjungi stasiun-stasiun tersebut untuk mengasah setiap bagian kecerdasannya selama waktu tertentu. Ini dapat dilakukan berkelompok atau perseorangan, di dalam atau di luar jam pelajaran, stasiun-stasiun itu dapat berupa pengalaman mentah dari kecerdassan menjadi focus, seperti :
S : Pictionary atau permainan menembak gambar,
L : Scattegories atau permainan mencari kata,
I : Kegiatan Kelompok,
M : Lagu atau Rap,
N : Kegiatan di alam,
B : Tarian atau kegiatan atletik,
I : Refleksi,
L : Teka teki atau logika


7 Penyakit Pendidikan dan Obatnya
(Meier :”Accelerated Learning Handbook: panduan kreatif dan efektif merancang proram pendidikan dan pelatihan)

Penyakit 1: Puritanisme
Belajar bagi kaum puritan, adalah indrktrinasi – sering merupakan kegiatan yang suram, tampa kegembiraan, dan hanya berisi hafalan. Dengan ciri-ciri disiplin yang ketat, sering disertai dengan “tongkat” (untuk memukul), yang cenderung menimbulkan rasa sakit. Seolah-olah Dalam pembelajaran itu tidak diperbolehkan memunculkan sikap tertawa. (penyakit ini dipenuhi dengan intimidasi,tekanan, dan kesakitan)
Obatnya :
Untuk mengatasinya adalah dengan mengembalikan kegembiraan dalam belajar.

Penyakit 2: Individualisme
Kebanyakan pendidikan menekankan prestasi individu.
Obatnya :”belajar baik itu bersifat sosial” jika orang saling membantu untuk belajar (baik mereka masih kanak-kanan maupun sudah dewasa) pembelajaran akan meningkat pesat.

Penyakit 3 : Model Pabrik
Sekolah pabrik adalah segala sesuatu di buat berurutan, dikontrol, dikotak-kotakkan, dan diseragamkan oleh kantor pusat. Anak-anak dipisahkan sesuai usia. Kurikulum ditetapkan untuk setiap tahap produksi. Setiap orang patuh pada penentuan waktu dalam jadwal produksi. Guru menjadi penyelia jalur produksi. Prodiksi dijalankan sesuai pedoman. Dan birokrasi raksasa muncul untuk mengontrol, mengukur, dan mengelola upaya raksasa itu.
Obatnya : mengganti pendidikan model sajian nasi rames menjadi jamuan prasmanan. Tidak ada satu cara terbaik. Pasti ada banyak cara yang bisa di tempuh dalam belajar. Pokok bahasan yang sama dapat diberikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan berbagai jenis kepribadian dan gaya belajar.

Penyakit 4: Pemikiran Ilmiah barat
Belajar dibagi ke dalam subjek-subjek yang terpisah, masing-masing diajarkan sendiri-sendiri. Subjek itu sering diajarkan “di luar jalur” dengan cara yang benar-benar linier, terpisah dari hubungan timbal-balik sistemis dan simultan mereka dengan factor-faktor lain di dunia nyata.
Obatnya : pemelajaran harus dikembalikan kepada sifatnya yang holistic dan dalam konteks. Karena pengalaman adalah guru terbaik, tepat sekali jika orang tidak hanya belajar mengenai suatu subjek di luar jalur, tetapi (sebanyak mungkin) mengalaminya sendiri dalam lingkungannya di dunia nyata. Ini memang lebih merepotkan, lebih ambigu, dan mungkin tidak begitu mudah dikontrol, tetapi siklus berusaha di dunia nyata, umpan balik, dan berusaha kembali berkali-kali lebih efektif daripada berada di luar jalur. Cara belajar terbaik bukanlah dengan mendengarkan kuliah atau memandang layar computer, belajar yang terbaik adalah dengan mengalami, dengan melakukan pekerjaan itu sendiri.

Penyakit 5: Pemisahan Pikiran/Tubuh
Pemikiran ilmiah barat bukan hanya telah memisahkan individu dari alam dan dari pengalaman holistic di dunia, melainkan juga telah memisahkan individu dari dirinya sendiri. Pikiran rasional menjadi focus pendidikan, Sentara tubuh dianggap tidak penting, tetapi juga mengganggu.
Obatnya: mempersepsi kembali bahwa pikiran dan tubuh bukanlah entitas terpisah, melainkan satu keseluruhan yang terpadu dan tak terpisahkan. Sesungguhnya, pikiran itu tidak terbatas pada otak saja, tetapi disebarkan keseluruh tubuh. Dan tubuh mempengaruhi otak dengan berbagai cara. Gerakan tidak hanya meningkatkan sirkulasi otak, tetapi juga menghasilkan zat kimia yang penting bagi jaringan saraf di dalam otak.

Penyakit 6: Dominasi Pria
Sekolahan yang hanya di peruntukkan pria.
Obatnya : belajar yang baik dan kehidupan yang sehat merupakan campuran dari kedua sifat baik maskulin maupun feminim,.

Penyakit 7: Media Cetak
Berkat media cetak, pendidikan sekarang cenderung menekankan otak kiri dan berdasarkan kata semata. Ketika lita berfikir untuk merancang kurikulum, yang masuk kedalam pikiran kita adalah KATA.
Obatnya : Mengubah konsep bahwa belajar sebaiknya tidak berdasarkan kata-kata semata, melainkan juga berdasarkan pada pengalaman nyata. Ubah pelajaran berbasiskan aktivitas. Beri para pembelajaran itu konteks dunia-nyata seautentik mungkin. Dan melibatkan seluruh potensi otak mereka, seluruh tubuh mereka, dan seluruh indra mereka dalam belajar.

Kamis, 03 Februari 2011

Pelatihan Sistem Pelaporan BOS


Pelatihan ini diadakan oleh Kementrian Agama Kabupaten Tuban yang bekerja sama dengan Tiga Serangkai pada tanggal 1-2 Januari 2011, adapun materinya yaitu "Pengolahan Data Keuangan BOS dengan Menggunakan Software SDS++ BOS KITA".

Dengan memanfaatkan fasilitas software ini Sekolah/Madrasah dapat menyusun RKAS/M dan memperbaharuinya untuk setiap tahun ajaran. Selain itu Sekolah/Madrasah dapat mencatat setiap transaksi keuangan yang terdiri dari transaksi tunai, bank, pajak, dan tentunya mencetak laporan penggunaan dana BOS yang dilakukan oleh Sekolah/Madrasah. Selain dari sumber pendanaan BOS, Sekolah/Madrasah dapat memanfaatkan aplikasi ini untuk mengelola sumber pendanaan lain.

Sistem database berkaitan dengan administrasi di Madrasah merupakan keharusan, dan ini membuktikan bahwa Madrasah bukan nomor dua lagi.