Jumat, 25 Februari 2011

Ujian Nasional dan Politisasi Standar Mutu

Oleh Masyhuri AM
Sekretaris Majelis Pertimbangan dan
Pemberdayaan Pendididkan Agama Islam
MP3A)

Ujian Nasional (UN) sesungguhnya hanya salah satu sarana untuk melakukan penilaian serta untuk mengetahui apakah rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke dalam kurikulum dapat dicapai atau tidak. Ibarat sebuah produk, UN dapat dikategorikan sebagai tools untuk mengukur mutu produk (standard of quality assurance). Ukuran tersebut harus bisa berlaku umum. Jadi, ujian merupakan penerapan quality control management dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini UN tidak hanya berfungsi untuk menentukan standar kelulusan, tetapi juga untuk mengukur mutu pendidikan secara merata di tingkat nasional. Selain itu, UN juga dapat menjadi instrumen evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan secara menyeluruh terhadap sekolah, guru, siswa, serta sarana/prasarana, termasuk rancang bangun kurikulum.

Dengan cars tersebut, sekolah, guru, orang tua murid, dan komite sekolah dapat secara bersama-sama menyusun strategi tindak lanjut untuk perbaikan dan penyempurnaan program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Tentunya kegagalan para siswa dalam mencapai hasil belajar tak dapat dipandang sebagai kegagalan siswa semata, tetapi lebih komprehensif dari segi pengajaran yang diberikan atau mungkin kesalahan strategi dalam melaksanakan program, terbatasnya fasilitas yang dimiliki, serta mungkin kinerja tenaga pendidik berkualitas rendah.

Dilihat dari fungsinya, UN adalah bagian dari proses penilaian. Sedangkan jenis penilaian bisa formatif, summative, diagnostik, dan selektif. Penilaian formatif dilakukan oleh guru pada akhir program belajar-mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar itu sendiri. Program penilaian formatif berorientasi pada proses belajar-mengajar. Melalui ini diharapkan guru dapat memperbaiki program pengajaran dan strategi pelaksanaannya. Adapun penilaian summative adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir program dan bertujuan untuk melihat hasil yang dicapai oleh para siswa setiap akhir caturwulan, akhir semester, atau akhir tahun. Jenis penilaian ini ingin mengukur kompetensi dalam mata pelajaran yang dinilai atau diujikan. Penilaian ini berorientasi kepada produk, bukan kepada proses. Jadi, apabila tidak kompeten dalam mata pelajaran yang dujikan atau yang dinilai, siswa dinyatakan tidak lulus.

Jenis lain berkaitan dengan penilaian yaitu penilaian diagnostik. Penilaian ini bertujuan untuk melihat kelemahan-kelemahan siswa serta faktor-faktor penyebabnya, dan dilakukan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remedial (remedial teaching), dan menemukan kasus-kasus. Oleh karena itu, soal-soal dirancang untuk menemukan jenis kesulitan belajar yang dihadapi para siswa. Penilaian jenis ini diharapkan menjadi alat diagnosis untuk mendeteksi kelemahan-kelemahan proses pembelajaran di satu sekolah. Dalam konteks ini ujian nasional dapat berfungsi ganda sebagai penilaian summative sekaligus diagnostik. Fungsi summative dilaksanakan pada akhir program yang bertujuan untuk melihat hasil akhir belajar siswa. Hasilnya menjadi rekaman laporan kecakapan (record progress) bagi siswa dalam penguasaan materi tertentu. Sedangkan ujian sebagai fungsi diagnostik didasarkan pada penyusunan kisi-kisi soal yang didesain untuk menemukan jenis kesulitan dan mencari kelemahan-kelemahan dalam proses pembelajaran. Pada gilirannya, hasil ujian tidak hanya menjadi hasil prestasi siswa, tetapi sekaligus simbol keberhasilan guru, kepala sekolah, dan sekolahnya.

Pro-kontra UN
Kita patut menghargai pro-kontra sekitar UN ini jika perdebatan tersebut murni masalah standardisasi mutu pendidikan. Karena itu, penyelenggaraan UN bukanlah hal yang tepat untuk dipertentangkan secara politis. Kecenderungan menarik masalah UN ke wilayah politik pasti akan menimbulkan korban tafsir berikutnya. Persoalan mutu pendidikan menjadi terlupakan. Jika perdebatan masalah UN hanya ditarik ke arah persoalan yang sangat teknis, yakni lembaga mana yang berhak menyelenggarakan, proses penganggaran yang lebih dahulu harus dibahas oleh DPR, prosedur aturan yang perlu ditetapkan dst, persoalan yang muncul bukan murni pengukuran kualitas pendidikan lagi, melainkan sudah melebar ke wilayah lain. Hal ini kemudian dapat menimbulkan persepsi berbeda tanpa pertimbangan mendalam kemudian menafikan bahwa ujian tidak perlu diadakan. Di sisi lain, juga timbul persoalan gengsi sekolah. Karena, bagi sekolah yang persentase kelulusan siswanya tinggi dalam UN, sekolah tersebut ikut naik pamornya. Masalah ini kemudian memunculkan persoalan baru, pihak sekolah berusaha dengan segala cara untuk menggenjot siswa agar dapat lulus ujian.

Meskipun setiap argumentasi memiliki alasan untuk bertahan pada sikap atau pendiriannya, setidaknya kesadaran bersama diperlukan agar kualitas pendidikan tidak menjadi korban. Update terakhir tentang human development index (HDI) Indonesia yang berada di posisi 107 dari sekitar 188 negara menunjukkan bahwa upaya pemulihan pendidikan harus menjadi prioritas bangsa ini ke depan. Karena itu, polemik tentang UN seyogianya tidak terlalu dalam ditarik ke ranah politik sehingga dapat membias ke dalam masyarakat dan membuat para praktisi pendidikan semakin bingung. Secara ideal memang pelaksanaan evaluasi terhadap peserta didik harus diwujudkan. Pertanyaannya: Apakah jika belum mencapai penyelenggaraan yang ideal kemudian lembaga ujian tidak perlu diadakan, sementara sistem yang lain belum ada?

UN sebagai produk hasil belajar
Memang basil belajar tidak sepenuhnya bisa dievaluasi oleh UN. Namun dalam kaitan tes summative (ujian akhir), UN dapat menjadi kriteria pengukuran produk hasil belajar, karena memang pengukuran ini berorientasi kepada produk akhir, bukan proses. Mengutip pendapat tokoh psikologi pendidikan Carl Rogers 'bahwa seseorang yang telah menguasai tingkat kognitif, maka perilaku seseorang sudah dapat diramalkan ke dalam ranah afektif dan ranah psikomotoriknya'. Yang terjadi di sekolah saat ini memang evaluasi hasil belajar kognitif lebih dominan, jika dibanding dengan evaluasi hasil belajar afektif dan psikomotorik. Akan tetapi, bukan berarti kedua bidang tersebut diabaikan sehingga tidak perlu dilakukan penilaian.

Dari beberapa indikator kualitas pendidikan sejak reformasi bergulir tahun 1998, cukup banyak dicatat kemajuan pendidikan di Tanah Air. Tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya, saat guru hanya mentransfer pengetahuan dan dipatok dengan target-target kurikuler. Model pembelajaran ini dengan pendekatan demokratis, mengisi banyak ruang kelas sekolah, guru dan siswa mempunyai posisi sentral dan menjadi subjek pendidikan, sehingga prinsip pelajar tuntas (mastery learning) menjadi lebih mungkin dicapai. Model pembelajaran demokratis menuntut adanya rumusan standar nasional kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan (competency standard). Oleh karena itu, ujian akhir seperti UN yang menggunakan criteria referenced assessment tetap diperlukan.

Problem mendasar diskursus tenang UN hanya terjadi pada kriteria dan cara mencapainya saja, karena secara faktual terdapat hampir 52% sekolah/ madrasah di Indonesia berstatus swasta. Sebaliknya jika kita tidak memiliki basis national standardized test yang baku dan menjadi acuan secara nasional, jelas hal ini juga tidak menguntungkan dari aspek pengembangan mutu. Karena itu standar yang baik dalam dunia pendidikan tetap diperlukan dalam rangka mengetahui standar isi dan standar kompetensi yang berlaku di wilayah Indonesia. Banyak ahli pendidikan yang kurang meyakini kemampuan sekolah swasta untuk mengukur secara objektif kemampuan siswanya masing-masing. Ketika pemerintah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk memberi nilai sendiri, yang terjadi adalah menaikkan (mark up) nilai. Fenomena ini menunjukkan betapa masih banyaknya sekolah-sekolah swasta yang integritasnya terhadap mutu pendidikan masih rendah.

Kiranya kita perlu melihat kembali persoalan ini dengan kepala dingin, hati yang jernih, agar UN sebagai produk hasil belajar dapat meningkatkan pola pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Belajar dari negeri tetangga seperti Malaysia yang menetapkan angka kelulusan (passing grade) untuk mata pelajaran matematika, bahasa, dan IPA dengan 6, sedangkan UN tahun ini hanya menetapkan 5,05 itu pun sudah menjadi kegaduhan besar. Para pengkhidmat pendidikan perlu mengimbau pemerintah, DPR, dan LSM untuk tidakmemperpanjang masalah UN menjadi menyimpang dari esensi persoalan upaya peningkatan mutu pendidikan secara terus-menerus.

0 komentar:

Posting Komentar